SUNGGUMINASA, tabloidTEMPO.com — Dua warga Sokkolia masing-masing Dolo Dg Nai dan Agus Dg Ngunjung menempuh upaya hukum praperadilan setelah menilai penetapan tersangka mereka adalah tindakan sewenang-wenang penyidik Unit Tahbang Satuan Reserse dan Kriminal (Satreskrim) Polres Gowa. Sidang pertama sudah digelar di Pengadilan Negeri Sungguminasa, Rabu, 14 Agustus 2024
Dalam persidangan pertama, pihak Polres Gowa memilih tidak hadir. Sidang lanjutan yang digelar pada Senin, 12 Agustus dengan agenda menghadirkan termohon pihak Polres Gowa memang hadir namun Iptu Ariyanto dan Iptu Akbar sebagai pihak yang mewakili polres Gowa tidak memiliki surat kuasa saat di minta oleh majelis hakim.
Praperadilan diajukan karena Pemohon menganggap ada upaya untuk memaksakan kasus ini naik ke penyidikan dan bergulir di pengadilan tanpa didasari bukti yang cukup. Pasal pemalsuan surat yang disangkakan pada keduanya dinilai janggal karena Pemohon praperadilan justru menjadi korban dari klaim penyidik terkait kasus dugaan pemalsuan surat tersebut.
Kuasa Hukum Pemohon, Ahmad Nur, S.H mengatakan, penetapan tersangka tidak bisa dilakukan di atas dasar bukti yang apa adanya, sebab hal ini terkait dengan hak asasi seseorang yang diperhadapkan pada proses hukum. “Maka, praperadilan adalah langkah konstitusional untuk mengoreksi penyidik,” kata alumnus Unhas ini usai sidang pertama di PN Sungguminasa.
Lebih lanjut Ahmad Nur menyampaikan praperadilan ini diajukan terkait dengan kesalahan penetapan tersangka, kesalahan penangkapan, dan kesalahan penahanan sebagaimana yang diatur pada Pasal 1 angka 10 KUHAP jo Pasal 77 KUHAP dan merujuk pada Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tertanggal 28 April 2015. Harapannya, kata Ahmad Nur, apabila praperadilan ini dikabulkan hakim, maka warga yang ditetapkan sebagai tersangka bisa mendapatkan pemulihan nama baiknya.
Beberapa hal yang janggal menurut Ahmad Nur dalam penetapan tersangka ini yakni tidak akuratnya penyidik dalam memandang siapa yang menjadi pelaku pemalsuan, bukti atau dokumen asli sebagai pembanding atas adanya surat palsu tidak pernah ditunjukkan pada pemohon, dan kasus ini sudah pernah dihentikan pada tahun 2022 namun kembali dilanjutkan tahun ini dan langsung dilakukan penangkapan dengan hanya menggunakan laporan lama.
“Selengkapnya sudah kami tuangkan dalam permohonan praperadilan kami. Yang pasti tindakan penyidik ini kami anggap sewenang-wenang,” tegasnya.
Di tempat lain, Presiden Toddopuli Indonesia Bersatu (TIB), Syafriadi Djaenaf sebagai lembaga yang mengawal kasus ini menyebut, upaya praperadilan adalah langkah yang tepat bagi warga untuk melawan tindakan aparat penegak hukum yang diduga lalai dalam menjalankan tugasnya. Apalagi menurut pria yang akrab disapa Deang Mangka ini, kasus yang melibatkan warga Desa Sokkolia tersebut sebenarnya sudah selesai.
“Kan setahu saya sudah ada perdamaian. Kasusnya sudah dihentikan pada tahun 2022. Waktu itu warga Sokkolia ditangkapi kemudian dilepaskan karena sudah ada perdamaian. Itu kan bentuk restoratif justice (RJ). Kalau ada RJ itu mestinya SP3 dong, kok lanjut. Ini preseden buruk,” jelasnya.
Syafriadi menilai tindakan penyidik melanjutkan kasus ini justru bertentangan dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif. “Jadi kalau kasus pemalsuannya yang diproses, maka harusnya sudah gugur,” ungkap Syafriadi.
Kasus yang menimpa warga Sokkolia yakni dugaan terlibat dalam memalsukan Surat Keterangan Pemilikan Tanah Sementara dengan menggunakan sangkaan Pasal 266 dan 263 KUHP jo Pasal 56 UU Nomor 1 Tahin 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana. Dua orang warga yang ditangkap dan ditahan telah menguasai dan menggarap lahan tersebut puluhan tahun. Namun ada pihak lain yang mengklaim lahan garapan tersebut dan belum pernah digugat di pengadilan. Warga yang mengklaim inilah yang melaporkan Dolo dan Nai serta Agus Dg Ngunjung kemudian langsung diproses di kepolisian. (TIB)