tabloidTEMPO– Kecelakaan kerja kembali merenggut nyawa seorang buruh di proyek pembangunan Bendungan Jene’lata, Kabupaten Gowa. Ardian Umar (21), pekerja PT Wijaya Karya Tbk (PT Wika), tewas setelah dilindas alat berat jenis buldoser pada Kamis, 8 Mei 2025. Insiden ini menambah deretan kasus kecelakaan kerja yang terus terjadi akibat lemahnya pengawasan dan penerapan standar keselamatan kerja.
Namun, bukannya bertindak transparan dan bertanggung jawab, PT Wika bersama perusahaan lain yang terlibat dalam proyek ini—PT Adhi Karya Tbk dan PT China CAMC Engineering Co Ltd—justru berupaya menutup-nutupi peristiwa tragis ini. Sikap ini mencerminkan pengabaian terhadap hak-hak dasar pekerja dan menimbulkan pertanyaan besar: _Berapa banyak lagi nyawa buruh yang harus melayang sebelum keselamatan kerja benar-benar dijamin?_
“Kelalaian yang Tak Bisa Ditoleransi”
Kematian akibat kecelakaan kerja bukan sekadar musibah biasa—ini adalah bentuk nyata dari kelalaian perusahaan yang harus dipertanggungjawabkan. Undang-Undang Ketenagakerjaan secara tegas mewajibkan perusahaan untuk melindungi keselamatan pekerja. _Pasal 86 ayat 1 dan 2_ menekankan bahwa perlindungan keselamatan kerja adalah hak fundamental buruh yang tidak bisa diabaikan.
Lebih lanjut, _Pasal 87 ayat 1_ dalam _UU Nomor 13 Tahun 2003_ mewajibkan setiap pengusaha menerapkan Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3). Pelanggaran terhadap aturan ini bukan sekadar bentuk kelalaian administratif, tetapi juga berkonsekuensi hukum serius.
“Kecelakaan kerja seperti ini tidak boleh dianggap sebagai insiden biasa. Ini adalah bukti nyata kelalaian sistematis yang harus diusut tuntas,” ujar *Syafriadi Djaenaf Daeng Mangka*, dari Koalisi Masyarakat Sipil Toddopuli Indonesia Bersatu (TIB). “Jika terbukti ada kelalaian, perusahaan dapat dikenai sanksi berat sebagaimana diatur dalam _Pasal 190 ayat 1_ UU Ketenagakerjaan, termasuk teguran, pembekuan operasional, bahkan pencabutan izin usaha.”
Tidak hanya perusahaan, tetapi juga pimpinan perusahaan harus diproses secara hukum. “Kematian pekerja akibat kelalaian bukan hanya pelanggaran administratif, tetapi termasuk dalam kategori pidana murni. Negara memiliki kewajiban untuk memastikan bahwa perusahaan tidak hanya sekadar membayar santunan, tetapi benar-benar bertanggung jawab dan mengubah sistem keselamatan kerja agar insiden serupa tidak terulang.
Daeng Mangka mengingatkan tragedi ini harus menjadi alarm bagi pemerintah dan pihak berwenang untuk segera bertindak. Nyawa pekerja bukan sekadar angka dalam laporan kerja, harus ada keadilan bagi korban dan tindakan konkret untuk mencegah jatuhnya korban berikutnya.
Sayangnya, banyak kasus kecelakaan kerja yang tidak ditindak secara tegas, dengan sanksi yang ringan atau hanya berakhir dengan pembayaran kompensasi. Hal ini menunjukkan perlunya peningkatan penegakan hukum dan pengawasan terhadap keselamatan kerja di Indonesia utamanya Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan,”tutup Daeng Mangka
Hingga berita ini di tanyang Belum ada tanggapan dari pihak berwenang
(Tim)